Minggu, 02 Januari 2011

Muslim dan Kristen di TIMTENG

BERBAGAI serangan terhadap kaum Kristiani di Irak dan Mesir terakhir ini menimbulkan pertanyaan kembali tentang masa depan hubungan Muslim-Kristen di Timur Tengah.

Sabtu (1/1) dini hari, sebuah bom mobil meledak di depan sebuah gereja di kota pantai Alexandria (225 kilometer utara Kairo). Peristiwa itu menewaskan 21 orang dan sekitar 100 orang luka-luka.



Pada 31 Oktober, jaringan Al Qaeda di Irak mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap gereja di Baghdad yang menewaskan 46 kaum Kristiani.

Gelombang kekerasan di Irak itu kini memaksa ribuan kaum Kristiani Irak lari ke Jordania, Suriah, dan Lebanon.

Menurut lembaga hak asasi manusia (HAM) Hammurabi di Baghdad, seperti dikutip harian berbahasa Arab Asharq Al-Awsat, jumlah kaum Kristen di Irak berkurang 60 persen dari jumlah tahun 2003 yang sekitar 1,3 juta jiwa saat itu.

Di Lebanon, peperangan dan ketegangan politik yang senantiasa melanda negeri itu memaksa pula banyak kaum Kristiani Lebanon hijrah ke negara-negara Barat, seperti AS, Kanada, Australia, dan Eropa.

Sepertinya telah terjadi keretakan hubungan sosial di antara penganut agama, mazhab, atau sekte di Timur Tengah.

Padahal, jasa besar kaum Kristiani Arab terhadap kebangkitan budaya, bahasa, dan nasionalisme Arab tidak diragukan lagi. Kaum Kristiani di wilayah Sham (Suriah, Lebanon, Palestina, dan Jordania) serta Irak adalah penduduk asli wilayah tersebut. Mereka pemilik budaya Arab setempat sebelum Islam masuk wilayah Sham dan Irak.

Ketika Islam masuk wilayah Sham pada era Khalifah Umar Bin Khattab (634-644 M), bahasa dan budaya yang menyatukan kaum Muslim dan Kristiani sehingga mereka bisa hidup harmonis dan bersinergi berabad-abad.

Kaum Kristen Koptik di Mesir adalah penduduk asli Mesir sebelum Islam masuk wilayah itu.

Ketika Islam masuk wilayah Mesir pada era Khalifah Umar bin Khattab, kaum Kristen Koptik tidak serta-merta bersinergi dengan kaum Arab Muslim. Butuh proses berabad-abad untuk melakukan ”arabisasi” kaum Kristen Koptik sehingga akhirnya kaum Kristen Koptik mengadopsi bahasa dan budaya Arab sebagai bahasa dan budaya resminya.

Kunjungan tokoh Kristen Koptik, Makram Obeid Pasha, ke wilayah Sham tahun 1930-an dan berpidato dengan bahasa Arab di Damaskus, Beirut, dan Palestina untuk menunjukkan, kaum Kristen Koptik bagian integral dari kaum Arab Kristen.

Budaya dan bahasa itulah yang menjadi pijakan lahirnya nasionalisme Arab yang kemudian menjadi tali penyatu kaum Muslim dan Kristen di Timteng.

Tali nasionalisme Arab itu semakin kuat ketika muncul tantangan zionisme yang melahirkan negara Israel pada 1948. Kaum Arab Muslim dan Kristen berjuang bahu-membahu menghadapi zionis. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, misalnya, berjasa menempa kaum Kristen Koptik menganut ideologi nasionalisme Arab yang sangat anti-zionis. Tokoh Kristen Arab di Sham, Michel Aflag, adalah arsitek berdirinya partai Baath yang mengusung ideologi nasionalisme dan sosialisme Arab.


Apakah gejala kaum Kristen menjadi sasaran kekerasan di Timteng terakhir ini pertanda lemahnya nasionalisme Arab ditelan gelombang radikalisme?

Tampaknya harus lahir lagi pemimpin sekelas Gamal Abdel Nasser dan Hafez Assad (murid Michel Aflag) yang membangkitkan kembali nasionalisme Arab sebagai payung kerukunan umat beragama, dan sekaligus meredam kelompok-kelompok pengusung paham radikal. (Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir).(kompas)

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungannya